Senin, 14 Januari 2013

Peranan dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Advokat di Indonesia


Peranan dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Advokat di Indonesia”
Menurut Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang Advokat yang dimaksud Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Advokat.
Dalam UU Advokat tersebut juga dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun walaupun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Dalam konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum yang terdiri dari hakim, jaksa, dan polisi memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum yang menjalankan kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan negara dan jaksa serta polisi yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan pemerintah. Bagaimana dengan Advokat?
Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, legislative, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili kepentingan klien dan membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya ketentuan advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.[1]
Profesi Advokat sesungguhnya sangat sarat dengan idealism. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, Advokat dijuluki sebagai “Officium Nobile” (Profesi yang mulia). Profesi Advokat itu mulia karena mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk turut menegakkan hak asasi manusia. Disamping itu, Advokat pun bebas dalam membela, tidak terikat pada perintah klien dan tidak pilih bulu siapa lawan kliennya seperti misalnya golongan pejabat, pengusaha, penguasa dan lain sebagainya.[2] Profesi Advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya membela masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh UU yaitu UU no.18 tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status dan kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa berfungsi secara maksimal.
Kebebasan profesi Advokat bersifat universal dan diakui oleh banyak negara terutama di negara-negara demokratis. Makin bebas profesi Advokat makin demokratis suatu negara. Mengingat adanya kebebasan profesi Advokat, maka para pembela masyarakat ini dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan tekanan dari pihak mana pun juga. Kebebasan profesi Advokat yang secara international dikenal dengan Independence of the legal profession merupakan syarat mutlak terciptanya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak (Independent and Impartial Judiciary). Peranan Advokat ini juga sering diumpamakan sebagai pengawal Konstitusi dan Hak Asasi Manusia.[3]
Peran Advokat tersebut tidak akan pernah lepas dari masalah penegakan hukum di Indonesia. Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Dalam masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula. Namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya yang memegang peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi proses penegakan hukum.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor diluar sistem hukum. Dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (peraturan perundang-undangan), faktor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana. Sedangkan faktor diluar sistem hukum yang memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa negara.[4]
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum yang berlaku, maka diperlukan adanya suatu institusi negara yang dinamakan kekuasaan kehakiman (judicial power). Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan terutama tugas dibidang judicial, yaitu dalam rangka memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pasal 24 Ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.[5]
PERADI sebagai wadah profesi advokat yang pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi Negara. Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya.
Terkait dengan keberadaan pencari keadilan khususnya yang kurang mampu secara ekonomi dapat beracara secara prodeo yang diatur dalam PP no. 83 tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-Cuma. Seorang Advokat memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang meliputi tindakan hukum untuk kepentingan pencari keadilan di setiap tingkat proses peradilan dan berlaku juga terhadap pemberian jasa hukum diluar pengadilan. Hal ini selaras dengan access to legal counsel sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam UN Declaration of Human RightsI (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), dimana setiap orang yang dituntut dihadapan hukum berhak didampingi oleh seorang atau lebih Advokat. Misalnya terjadi sengketa antara orang miskin dan orang kaya. Maka orang yang tidak mampu tersebut dapat memperoleh keadilan melalui pembelaan dari seorang Advokat melawan orang kaya tersebut. Keberadaan lembaga bantuan hukum tersebut sangat penting di tengah masyarakat mengingat prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, pembelaan bagi orang tidak mampu baik di dalam atau diluar pengadilan merupakan hak asasi manusi dan bukan sekedar pertolongan semata. Karena pengabaian hak orang yang tidak mampu tersebut akan mengakibatkan gejolak sosial yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Adanya peran dan tanggung jawab advokat inilah dalam pemberian bantuan hukum sebenarnya adalah alat peredam yang ampuh akan kemungkinan terjadinya gejolak sosial dan ketidak puasan kaum tidak mampun yang biasanya terlupakan. Agar penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik dan agar masyarakat percaya pada hukum yang berlaku, yang diperlukan adalah penegakan hukum yang berkeadilan, dan itulah yang didambakan oleh masyarakat. Untuk itu dalam penegakan hukum di Indonesia ini dibutuhkan kehadiran penegak hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil, sebagaimana dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia yang disitilahkan dengan “ratu adil” atau seperti yang diimpikan oleh filosof besar yunani, yaitu Plato dengan Konsep “raja yang berfilsafat” ribuan tahun yang lalu.[6]


[1] Pasal 3 dan 4 Kode Etik Advokat Indonesia
[2] Frans Hendra Winarta, S.H. 1995. Advokat Indonesia Citra, Idealisme, dan Keprihatinan. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal. 14
[3] Ibid.
[4] Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta. UII Press. Hal.16
[5] Ibid. hal.3
[6] Ibid. hal. 5


Semoga bermanfaat untuk pembaca :)

Tidak ada komentar: