Selasa, 22 Januari 2013

Hukum Pembuktian


IKA WAHYUNI SHERLYANA
09400239
KELAS VII A
TUGAS HUKUM PEMBUKTIAN


1.      Teori Relevansi Alat Bukti
Didalam ilmu hukum acara perdata, untuk membuktikan suatu dalih tentang hak dan kewajiban didalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh UU yaitu:
a.       alat bukti tertulis
b.      alat bukti saksi 
c.       alat bukti persangkaaan
d.      alat bukti pengakuan
e.       alat bukti sumpah
Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti tertulis (surat) merupakan alat bukti yang utama, karena surat justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan, atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya.(Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW). Dalam kasus perdata, minimal terdapat 1 alat bukti kuat seperti akta otentik untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti. Bukti-bukti yang lainnya juga dapat dijadikan sebagai alat bukti tetapi harus di dukung dengan alat bukti yang lainnya, misalnya saksi dan pengakuan.
Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana yang urut-urutan alat bukti itu sebagai berikut:
a.       Keterangan saksi
b.      Keterangan ahli
c.       Surat
d.      Petunjuk
e.       Keterangan terdakwa.
Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama. Kenapa? Karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi. (KUHAP, Pasal 184 ayat 1). Dalam kasus pidana, 1 saksi bukanlah saksi sehingga minimal terdapat 2 orang saksi yang dijadikan sebagai bukti (nullustestis).
2.      Teori Praduga Hukum Dalam Beban Pembuktian
Praduga hukum dalam beban pembuktian sering kita kenal dengan asas praduga tidak bersalah yang berarti bahwa seorang terdakwa/tersangka tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya keputuan dari pihak pengadilan. Asas ini memberikan keringanan tersendiri kepada pihak tersanka/terdakwa dalam dua hal penting yaitu:
a.       Diperbolehkan tidak memberikan keterangan yang kelak memberatkan atau merugikan sendiri saat di depan persidangan.
b.      Diperbolehkan untuk tidak melakukan atau menjawab, baik itu pada saat proses penyidikan maupun persidangan.
Hal ini juga di atur dalam pasal 8 UU no.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman mengenai prinsip peraduga tak bersalah yang berbunyi “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan kedepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan adanya putusan hukum yang tetap.” Rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law. Kovenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah.
Dalam sistem peradilan pidana berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
3.      Teori tentang Saksi Testimonium De Auditu
Alat bukti yang sah diatur di dalam pasal 184 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 1991 tentang Hukum acara pidana (KUHAP) diantaranya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Di dalam praktek kadang ditemukan keterangan saksi testimonium de auditu yaitu keterangan yang didengar dari orang lain. Mengenai saksi testimonium de auditu, sebagian ahli menyatakan bahwa keterangan saksi tersebut tidak di pakai. Namun sebagian ahli lainnya menyatakan bahwa keterangan saksi testimonium de auditu tidak boleh begitu saja dikesampingkan dalam delik tertentu karena dapat digunakan untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian. Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti saksi testimonium de auditu tidak merupakan alat bukti yang sah. Namun untuk menemukan keadaan yang sebenarnya dalam delik-delik tertentu saksi testimonium de auditu dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Untuk delik-delik khusus seperti perdagangan anak, pemerkosaan, pencabulan, dan delik keusilaan lainnya saksi testimonium de auditu dapat sebagai penunjang alat bukti yang sah.
KUHAP melarang menggunakan kesaksian de auditu sebagai alat bukti penuh. Hal tersebut diatur secara tegas di dalam pasal-pasal sebagai berikut : pasal 1 angka 26 KUHAP, pasal 1 angka 27 KUHAP, pasal 185 ayat (5) KUHAP serta penjelasan atas Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dalam penjelasan KUHAP ditentukan bahwa testimonimum de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Hal ini selaras dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran materiil, dan untuk perlindungan terhadap HAM. Keterangan saksi yang mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, oleh karena itu kesaksian tersebut patutu tidak dipakai di Indonesia. Adapaun alasan-alasan yang menyebabkan saksi testimonium de auditu tidak dapt diterima sebagai alat bukti di pengadilan untuk membuktikan suatu kebenaran atau suatu fakta yaitu karena saksi testimonium de auditu mempunyai kelemahan sebagai berikut:
a.       Karena kesaksian testimonium de auditu tidak dibedakan mana yang merupakan kesaksian yang benar dan mana yang merupakan gossip atau rumor belaka.
b.      Karena kesaksian testimonium de auditu tidak dapat menghadirkan saksi yang sebenarnya ke pengadilan untuk didengar oleh hakim dan para pihak, sedangkan kehadiran saksi ke pengadilan karena formalitas pengadilan akan menyulitkan saksi ketika ingin menceritakan yang tidak sebenarnya.
c.       Karena kesaksian testimonium de auditu tidak berhadapan dengan pihak yang menderita atau sasaran dari kesaksian itu, sedangkan jika berhadapan dengan orang yang terkena dengan kesaksiannya itu menyebabkan saksi tersebut secara psikologis sulit untuk menceritakan yang tidak benar.
d.      Karena saksi yang sebenarnya, dari mana saksi di pengadilan mendengarnya, tidak pernah mengucapkan sumpah di pengadilan ketika mengucapkan kesaksiannya sehingga kadar kebenarannya menjadi berkurang.
e.       Karena saksi yang sebenarnya, dari mana saksi di pengadilan mendengarnya, tidak hadir di pengadilan, tidak ada pertanyaan yang dapat diajukan dan tidak dapat dilakukan eksaminasi silang sehingga tidak dapat diketahui seberapa jauh kesaksiannya itu akurat.
f.       Karena saksi yang sebenarnya tidak datang ke pengadilan, maka terdapat masalah validitas dari kesaksiannya, yaitu tidak dapat diketahui sejauh mana keakuratan dari persepsi, ingatan, narasi, keseriusan, dan ketulusan hatinya.
g.      Karena problem ambiguitas bahasa, dalam hal ini tidak diketahui apa persinnya yang dimaksudkannya ketika menngucapkan suatu kata, misalnya, jika disebutkan kata-kata cepat menjadi tidak jelas sebenarnya seberapa cepat yang dimaksudkannya.
h.      Karena saksi tidak hadir di pengadilan yang terbuka untuk umum, padahal jika hadir di pengadilan yang terbuka untuk umum segan bagi saksi untuk berbohong karena menyangkut kredibilitasnya di depan masyarakat.

4.      Teori Pembuktian Elektronik
Secara substansial Undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.mengatur dua hal pokok yakni masalah informasi elektronik dan transaksi elektronik. Perkembangan pemanfaatan informasi elektronik dewasa ini sudah memberikan kenyamanan dan kemanfaatannya. Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang ini berkaitan dengan informasi elektronik adalah mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi elektronik yang muatannya berisi melanggar kesusilaan, muatan perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik atau pemerasan dan/atau pengancama. Misalnya penayangan gambar-gambar porno dalam situs internet maupun telepon selular, melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik seperti dalam kasus Prita Mulyasari melalui sarana e-mail, transaksi jual beli buku melalui saluran internet memakai nama palsu sehingga dapat merugikan konsumen dan produsen, kasus-kasus pembobolan bank. Oleh karena itu undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik pada pasal 5 menyebutkan :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam pasal 5 tersebut telah secara tegas di sebutkan bahwa informasi elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah meliputi informasi elektronik  dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya.hal tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP. Kemudian dijelaskan kembali dalam pasal 6 bahwa syarat suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dalam praktek penerapan bukti elektronik, hasil  cetak dari dokumen atau informasi tidak langsung dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang pembuatannya dilakukan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik dan Sistem Elektronik. Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.
5.      Teori tentang DNA sebagai alat bukti
Saat ini penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia dipandang sebagai alat yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain.  Alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu :
Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”;
(1) Keterangan saksi
(2) Keterangan ahli
(3) Surat
(4) Petunjuk
(5) Keterangan terdakwa
Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun alat bukti tes DNA paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk. Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud petunjuk yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya, adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dari definisi petunjuk tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai petunjuk yang harus dipenuhi antara lain :
1. Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa
2. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim
Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci mengenai susunan kromosom seseorang sehingga, memungkinkan hakim untuk dapat memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut. Salah satu contoh kasus yang dapat menggunakan alat bukti petunjuk berupa test DNA adalah kasus terorisme. Penggunaan tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan :
a. DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa dari si pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak kejahatannya.
b. Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam kandungan basanya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan cukup valid.
Tes DNA sebagai salah satu bentuk alat bukti petunjuk harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang dapat ditunjukkan melalui syarat-syarat :
a. Kerahasiaan (confidentially).
Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi, mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah Rumah Sakit atau Laboratorium yang memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat kerahasaiaan dapat terjaga.
b. Otentik (autentify).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel, yaitu satuan terkecil yang memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu. Sehubungan dengan itu, bagian yang perannya sangat penting dalam melakukan pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus.
Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian- bagian yang dinamakan gen. gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas molekul- molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan- satuan yang dinamakan DNA yang tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.
c. Objektif.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari pemeriksaan berdasarkan keadaan obyek sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsure subyektifitas seseorang dapat diminimalisir.
d. Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic)
Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis, yaitu pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup, kedua, DNA yang telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain, ketiga pemisahan bagian-bagian lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di dalamnya.
Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :
1. hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian aynag diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainaya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
2. petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain.

6.      Teori Alat Bukti Non Konvensional
Hukum pembuktian sebagaimana dalam KUHAP masih menerapkan konsep-konsep pembuktian konvensional, yang sangat mengandalkan pembuktian berdasarkan bukti surat (paper based). Alat bukti non konvensional berarti pembukti yang sudah tidak mengandalkan alat bukti berdasarkan surat. Dalarn ilmu hukum pembuktian, sering dibedakan antara alat bukti riil dan alat bukti demonstrative :
a.       alat bukti riil adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta yang dipersengketakan, seperti senjata, peluru, pakaian, kontrak, yang berhubungan dengan fakta yang akan dibuktikan. Jadi, alat bukti tersebut merupakan alat bukti riil (real, tangible)
b.      alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang tidak secara langsung nrembuktikan adanya fakta tertentu,  tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi  lebih jelas dan lebih dapat dimengerli. Namun, dalam literatur sering  antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif disatukan dalam istilah"alat bukti demonstratif".
Suatu alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan dengan yang akan dibuktikan. Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko dalam proses pencarian keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu sehingga membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang diajukan menjadi tidak proporsional
karena membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan masalah yang sebenarnya besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan menjadi tidak sesuai lagi dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak.


written by: Ika Wahyuni Sherlyana

Semoga bermanfaat untuk pembaca :)


Tidak ada komentar: