IKA WAHYUNI SHERLYANA
09400239
KELAS VII A
TUGAS HUKUM PEMBUKTIAN
1. Teori Relevansi Alat Bukti
Didalam
ilmu hukum acara perdata, untuk membuktikan suatu dalih tentang hak dan
kewajiban didalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh UU yaitu:
a.
alat bukti tertulis
b.
alat bukti saksi
c.
alat bukti persangkaaan
d.
alat bukti pengakuan
e.
alat bukti sumpah
Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti
tertulis (surat) merupakan alat bukti yang utama, karena surat justru dibuat
untuk membuktikan suatu keadaan, atau kejadian yang telah terjadi atau
perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya.(Pasal 164
HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW). Dalam kasus perdata, minimal terdapat 1 alat
bukti kuat seperti akta otentik untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Bukti-bukti yang lainnya juga dapat dijadikan sebagai alat bukti tetapi harus
di dukung dengan alat bukti yang lainnya, misalnya saksi dan pengakuan.
Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat
bukti dalam hukum acara pidana yang urut-urutan alat bukti itu sebagai berikut:
a.
Keterangan saksi
b.
Keterangan ahli
c.
Surat
d.
Petunjuk
e.
Keterangan terdakwa.
Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti
yang utama. Kenapa? Karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan
berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan
dititikberatkan pada keterangan saksi. (KUHAP, Pasal 184 ayat 1). Dalam kasus
pidana, 1 saksi bukanlah saksi sehingga minimal terdapat 2 orang saksi yang
dijadikan sebagai bukti (nullustestis).
2. Teori Praduga Hukum Dalam Beban
Pembuktian
Praduga hukum dalam beban
pembuktian sering kita kenal dengan asas praduga tidak bersalah yang berarti
bahwa seorang terdakwa/tersangka tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya
keputuan dari pihak pengadilan. Asas ini memberikan keringanan tersendiri
kepada pihak tersanka/terdakwa dalam dua hal penting yaitu:
a. Diperbolehkan
tidak memberikan keterangan yang kelak memberatkan atau merugikan sendiri saat
di depan persidangan.
b. Diperbolehkan
untuk tidak melakukan atau menjawab, baik itu pada saat proses penyidikan
maupun persidangan.
Hal ini juga di
atur dalam pasal 8 UU no.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman mengenai prinsip peraduga tak bersalah yang berbunyi “Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan kedepan
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahan dan adanya putusan hukum yang tetap.” Rumusan
asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat
singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right
to be presumed innocent until
proved guilty according to law”. Kovenan tersebut tidak hanya
menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan
undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan
bersalah.
Dalam sistem
peradilan pidana berdasarkan
sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem kontest), asas hukum ini
merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung
jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
3. Teori tentang Saksi Testimonium De
Auditu
Alat bukti yang sah diatur di dalam pasal 184 ayat
(1) Undang-undang nomor 8 tahun 1991 tentang Hukum acara pidana (KUHAP)
diantaranya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Di dalam praktek kadang ditemukan keterangan saksi testimonium de auditu yaitu keterangan
yang didengar dari orang lain. Mengenai saksi testimonium de auditu, sebagian ahli menyatakan bahwa keterangan
saksi tersebut tidak di pakai. Namun sebagian ahli lainnya menyatakan bahwa
keterangan saksi testimonium de auditu tidak
boleh begitu saja dikesampingkan dalam delik tertentu karena dapat digunakan
untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian. Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP,
alat bukti saksi testimonium de auditu tidak
merupakan alat bukti yang sah. Namun untuk menemukan keadaan yang sebenarnya
dalam delik-delik tertentu saksi testimonium
de auditu dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Untuk delik-delik
khusus seperti perdagangan anak, pemerkosaan, pencabulan, dan delik keusilaan
lainnya saksi testimonium de auditu dapat
sebagai penunjang alat bukti yang sah.
KUHAP melarang menggunakan kesaksian de auditu sebagai alat bukti penuh. Hal
tersebut diatur secara tegas di dalam pasal-pasal sebagai berikut : pasal 1
angka 26 KUHAP, pasal 1 angka 27 KUHAP, pasal 185 ayat (5) KUHAP serta
penjelasan atas Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dalam penjelasan KUHAP ditentukan
bahwa testimonimum de auditu tidak
diperkenankan sebagai alat bukti. Hal ini selaras dengan tujuan hukum acara
pidana yang mencari kebenaran materiil, dan untuk perlindungan terhadap HAM.
Keterangan saksi yang mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya,
oleh karena itu kesaksian tersebut patutu tidak dipakai di Indonesia. Adapaun
alasan-alasan yang menyebabkan saksi testimonium
de auditu tidak dapt diterima sebagai alat bukti di pengadilan untuk
membuktikan suatu kebenaran atau suatu fakta yaitu karena saksi testimonium de auditu mempunyai
kelemahan sebagai berikut:
a.
Karena kesaksian testimonium de auditu tidak dibedakan mana yang merupakan kesaksian
yang benar dan mana yang merupakan gossip atau rumor belaka.
b.
Karena kesaksian testimonium de auditu tidak dapat menghadirkan saksi yang
sebenarnya ke pengadilan untuk didengar oleh hakim dan para pihak, sedangkan
kehadiran saksi ke pengadilan karena formalitas pengadilan akan menyulitkan
saksi ketika ingin menceritakan yang tidak sebenarnya.
c.
Karena kesaksian testimonium de auditu tidak berhadapan dengan pihak yang menderita
atau sasaran dari kesaksian itu, sedangkan jika berhadapan dengan orang yang
terkena dengan kesaksiannya itu menyebabkan saksi tersebut secara psikologis
sulit untuk menceritakan yang tidak benar.
d.
Karena saksi yang sebenarnya, dari mana
saksi di pengadilan mendengarnya, tidak pernah mengucapkan sumpah di pengadilan
ketika mengucapkan kesaksiannya sehingga kadar kebenarannya menjadi berkurang.
e.
Karena saksi yang sebenarnya, dari mana
saksi di pengadilan mendengarnya, tidak hadir di pengadilan, tidak ada
pertanyaan yang dapat diajukan dan tidak dapat dilakukan eksaminasi silang sehingga
tidak dapat diketahui seberapa jauh kesaksiannya itu akurat.
f.
Karena saksi yang sebenarnya tidak
datang ke pengadilan, maka terdapat masalah validitas dari kesaksiannya, yaitu
tidak dapat diketahui sejauh mana keakuratan dari persepsi, ingatan, narasi,
keseriusan, dan ketulusan hatinya.
g.
Karena problem ambiguitas bahasa, dalam
hal ini tidak diketahui apa persinnya yang dimaksudkannya ketika menngucapkan
suatu kata, misalnya, jika disebutkan kata-kata cepat menjadi tidak jelas
sebenarnya seberapa cepat yang dimaksudkannya.
h.
Karena saksi tidak hadir di pengadilan
yang terbuka untuk umum, padahal jika hadir di pengadilan yang terbuka untuk
umum segan bagi saksi untuk berbohong karena menyangkut kredibilitasnya di
depan masyarakat.
4. Teori Pembuktian Elektronik
Secara
substansial Undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.mengatur dua hal pokok yakni masalah informasi elektronik
dan transaksi elektronik. Perkembangan pemanfaatan informasi elektronik dewasa
ini sudah memberikan kenyamanan dan kemanfaatannya. Perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang ini berkaitan dengan informasi elektronik adalah
mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi
elektronik yang muatannya berisi melanggar kesusilaan, muatan perjudian,
penghinaan atau pencemaran nama baik atau pemerasan dan/atau pengancama.
Misalnya penayangan gambar-gambar porno dalam situs internet maupun telepon
selular, melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik seperti dalam kasus
Prita Mulyasari melalui sarana e-mail, transaksi jual beli buku melalui saluran
internet memakai nama palsu sehingga dapat merugikan konsumen dan produsen,
kasus-kasus pembobolan bank. Oleh karena itu undang-undang no. 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi elektronik pada pasal 5 menyebutkan :
(1)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang
ini.
(4)
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a.
surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta
dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk akta notaril
atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam pasal 5 tersebut telah secara tegas di
sebutkan bahwa informasi elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah
meliputi informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya.hal tersebut merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP. Kemudian dijelaskan kembali
dalam pasal 6 bahwa syarat suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli
maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah, sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Dalam praktek penerapan bukti elektronik, hasil cetak dari dokumen atau informasi tidak
langsung dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Suatu bukti
elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin
keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan
sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan
bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang
dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang pembuatannya
dilakukan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik dan Sistem Elektronik. Bukti
elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat
memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat
dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga
menerangkan suatu keadaan.
5. Teori tentang DNA sebagai alat
bukti
Saat ini penggunaan alat bukti
tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia dipandang sebagai alat yang dapat
digunakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder
sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut
berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Sebagai produk hukum
yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui
pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal
ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu :
Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”;
(1) Keterangan saksi
(2) Keterangan ahli
(3) Surat
(4) Petunjuk
(5) Keterangan terdakwa
Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang
tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya
bersifat sangat interpretatif. Namun alat bukti tes DNA paling dekat
korelasinya dengan alat bukti petunjuk. Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat
beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga
dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian
seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud petunjuk yaitu suatu
perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak
pidana dan siapakah pelakunya, adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pemberian nilai atas petunjuk
itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dari definisi petunjuk tersebut,
kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai petunjuk yang harus dipenuhi antara
lain :
1. Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik
antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan
bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk
tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa
2. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim
Untuk mendapatkan keyakinan
(conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam
hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci
mengenai susunan kromosom seseorang sehingga, memungkinkan hakim untuk dapat
memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut. Salah
satu contoh kasus yang dapat menggunakan alat bukti petunjuk berupa test DNA
adalah kasus terorisme. Penggunaan tes
DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat
dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa
diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan :
a. DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan
dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa dari si
pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak kejahatannya.
b. Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda
dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam
kandungan basanya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan cukup valid.
Tes DNA sebagai salah satu bentuk
alat bukti petunjuk harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang
dapat ditunjukkan melalui syarat-syarat :
a. Kerahasiaan (confidentially).
Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat
kerahasianan yang cukup tinggi, mengingat informasi hasil tes DNA tidak
disebarkan pada orang atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya.
Dalam hal mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk
mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah Rumah Sakit atau Laboratorium yang
memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat
kerahasaiaan dapat terjaga.
b. Otentik (autentify).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel, yaitu satuan terkecil yang
memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan
organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu.
Sehubungan dengan itu, bagian yang perannya sangat penting dalam melakukan
pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan
nukleus.
Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian-
bagian yang dinamakan gen. gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata
terdiri atas molekul- molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang
saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan- satuan yang dinamakan DNA yang
tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu. Dari uraian
tersebut dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang
identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes
DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang
berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.
c. Objektif.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil
yang didapat dari pemeriksaan berdasarkan keadaan obyek sesungguhnya dan tidak
memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsure
subyektifitas seseorang dapat diminimalisir.
d. Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic)
Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA,
harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium
yang teruji secara klinis, yaitu pertama, mengambil DNA dari salah satu organ
tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup, kedua, DNA yang
telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang
berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur
protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain, ketiga pemisahan bagian-bagian
lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini
akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas
seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di
dalamnya.
Kekuatan pembuktian alat bukti
petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :
1. hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian aynag
diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainaya dan
mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
2. petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian
). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus
didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain.
6. Teori Alat Bukti Non Konvensional
Hukum pembuktian
sebagaimana dalam KUHAP masih menerapkan konsep-konsep pembuktian konvensional,
yang sangat mengandalkan pembuktian berdasarkan bukti surat (paper based). Alat
bukti non konvensional berarti pembukti yang sudah tidak mengandalkan alat
bukti berdasarkan surat. Dalarn ilmu hukum pembuktian, sering dibedakan antara
alat bukti riil dan alat bukti demonstrative :
a.
alat bukti
riil adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta
yang dipersengketakan, seperti senjata, peluru, pakaian, kontrak, yang
berhubungan dengan fakta yang akan dibuktikan. Jadi, alat bukti tersebut
merupakan alat bukti riil (real, tangible)
b.
alat bukti
demonstratif adalah alat bukti yang tidak secara langsung nrembuktikan adanya
fakta tertentu, tetapi alat bukti ini
dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi lebih jelas dan lebih dapat dimengerli.
Namun, dalam literatur sering antara
alat bukti riil dan alat bukti demonstratif disatukan dalam istilah"alat
bukti demonstratif".
Suatu alat
bukti yang akan diajukan ke pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan
dengan yang akan dibuktikan. Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko
dalam proses pencarian keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga
yang tidak perlu sehingga membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang
diajukan menjadi tidak proporsional
karena
membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan masalah yang sebenarnya
besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan menjadi tidak sesuai lagi
dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak.
written by: Ika Wahyuni Sherlyana
Semoga bermanfaat untuk pembaca :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar